“Seandainya Tidak Ada Aku”

 

Ada semacam rasa bangga ketika kita biasa memberikan sesuatu kepada orang lain. Rasanya menjadi lebih baik dari yang selainnya. Sebab, kita sebagai pemberi telah memberikan jasa dan kebaikan sehingga kita menganggap diri kita mempunyai hak yang harus ditunaikan oleh orang tersebut. Buktinya, ketika orang tadi diam, tidak berterima kasih, ada sesuatu dalam diri kita.

Apakah demikian? Siapakah yang menjamin bahwa pemberi lebih baik dari yang diberi? Padahal belum tentu sang pemberi adalah orang yang ikhlas tanpa pamrih manusia. Bisa jadi pula sang penerima adalah seorang yang menjaga kehormatannya, bukanlah tipe orang yang suka meminta-minta.

Bukankah bangga diri, merasa lebih baik dari orang lain itu adalah ujub? Bukanlah ujub adalah pangkal kesombongan? Sementara Allah mengharamkan surga bagi manusia yang sombong. Nampaknya, kita harus sering memberi dan berbagi agar hati bisa selalu berlatih untuk tidak merasa lebih baik daripada orang lain, di samping terus belajar bersyukur atas berbagai kemudahan itu.

Perasaan senang datang menyelinap dalam hati ketika kita terlihat dalam andil ta'awun. Berharap semakin banyak orang tahu tentang usaha kita. Kita adalah orang penting! Seandainya bukan karena Allah, kemudian karena kita, kegiatan itu tidak akan jalan. Aduh, sedemikian parahkah kesombongan ini? Astagfirullah, betapa sering ‘racun ini’ melintas mengotori hati.

Anggaplah kita orang penting, walaupun sebenarnya sangat tidak pantas untuk menganggap seperti itu. Apakah amalan kita ini akan diterima sebagai ibadah? Apa manfaat sebagai orang penting apabila di akhirat justru menjadi tuntutan atas kita? Apa kelebihan menjadi orang terhormat disegani apabila di akhirat terendahkan dalam kehinaan? Bukankah orang-orang pertama yang dilempar ke dalam neraka untuk menyalakan apinya adalah mereka yang riya?

Bersedih atau marah ketika datang kritikan, tidak mau dicacat dan disalahkan. Apabila kita seperti itu, maka selayaknya waspada terhadap ancaman di belakangnya yang jauh lebih besar. Ketika semangat semakin menyala saat dipuji, usaha bertambah giat dengan sanjungan orang, maka pastikan bahwa kita telah mengidap penyakit berbahaya. Karena tabiat suka pamer, ingin dilihat dan diperhatikan, tidak suka dikritik dan disalahkan adalah bibt-bibit riya. Sebelum menjadi sebab batalnya pahala, kita harus segera mengusirnya.

Di antara bibit riya ialah ketika salah satu dari kita sibuk mencari berbagai alasan. Saat tidak tampak dalam kegiatan bersama, berbagai agenda dadakan disampaikan. Khawatir kalau keberadaan kita diragukan. Khawatir seandainya adanya kita dianggap tidak ada. Intinya bagaimana agar kita tetap sebagai orang yang penting.

Memang berat menjaga keikhlasan. Sungguh sulit menghilangkan riya dan senang dipuji. Apalagi bentuk riya sangat beragam jenis dan macamnya. Abdullah bin Abbas Radiallahuanha menjelaskan, “Tandingan adalah kesyirikan. Lebih lembut dari langkah semut hitam yang berjalan di atas batu hitam dan gelapnya malam.” [Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Baqarah:22]

Pantas saja, Nabiyullah Ibrahim ‘Alaihisallam, sangat takut dari kesyirikan ini, padahal beliau adalah kekasih Allah Subhanahu wa ta’ala, ayah para nabi, Imam ahli tauhid. Perhatikan doa beliau:

“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa, ‘Ya Rabbku, jadikanlah negeri ini (Makkah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala.’” [Q.S. Ibrahim : 35]

Ibrahim At-Taimiy Rahimahullah, seorang ulama generasi tabi'in mengatakan, “Lalu siapakah yang merasa aman dari bencana ini (kesyirikan), setelah Nabi Ibrahim Rahimahullah tidak merasa aman darinya?” [Tafsir Ibnu Jarir dan Tafsir Ibnu Abi Hatim].

Nampaknya hanya rahmat Allah yang kita harapkan dari kesungguhan menuntut ilmu agar bisa mengenal dan mengidentifikasi berbagai bentuk riya’. Setelahnya, semoga Allah Subhanahu wa ta’ala memberikan taufik kepada kita untuk bisa menjauhinya.

Oleh: Ikhpa Erdayanti

 

Posting Komentar

6 Komentar