Khusyuk adalah
kosongnya hati dari hal-hal yang melalaikan dari ingat kepada Allah Subhanahu
wa ta’ala. Tegasnya, hati dan pikiran kita terfokus hanya kepada Allah Subhanahu
wa ta’ala, tidak kepada selain-Nya. Jumhur ulama telah sepakat bahwa khusyuk
dalam shalat tidak termasuk rukun atau pun wajib. Khusyuk dalam shalat hanya
termasuk sunnah saja. Tidak sampai kepada derajat wajib atau rukun. Apabila
seseorang shalat dengan tidak khusyuk, tidak membuat shalatnya rusak atau
batal. Sebab, khusyuk bukan termasuk perkara rukun atau kewajiban shalat.
عَنْ أَبيِ هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ رَأَى رَجُلاً يَبْعَثُ
بِلِحْيَتِهِ فيِ الصَّلاَةِ فَقَالَ : لَوْ خَشَعَ قَلْبُ هَذَا لَخَشَعَتْ جَوَارِحُهُ
“Dari Abi Hurairah radhiyallahu
anhu bahwa Nabi ﷺ melihat seseorang memainkan jenggotnya ketika shalat. Maka beliau
berujar, ‘Seandainya hatinya khusyuk maka khusyuk pula anggota badannya.’” (HR.
At-Tirmidzi)
Sebuah kisah diriwayatkan,
seorang sahabat mengadu ke Rasulullah bahwa kalau mengerjakan shalat tidak
dapat khusyuk sepenuhnya, sering kali masih teringat akan hal-hal lain,
termasuk urusan rumah tangga, utang-piutang dan sebagainya.
“Tidak ada orang
yang dapat sempurna dan khusyuk sepenuhnya dalam mengerjakan shalat dari awal
hingga akhir.”
“Saya bisa, ya
Rasulullah.”
tiba-tiba Ali bin Abi Thalib menyela.
“Betul?” tanya Rasulullah.
“Benar,
Rasulullah”
jawab Ali bin Abi Thalib dengan yakin.
“Jika memang
benar kau dapat sempurna dan khusyuk dari awal hingga akhir, akan kuberikan
surbanku yang terbaik sebagai hadiah untukmu.” janji Rasulullah.
Kemudian Ali bin Abi
Thalib mengerjakan shalat sunnah dua rakaat, terlihat dia mengerjakannya dengan
penuh kekhusyukan. Setelah selesai, ia ditanya oleh Nabi ﷺ,
“Bagaimana? Kau
bisa mengerjakannya dengan khusyuk dan sempurna?”
“Pada rakaat
yang pertama, saya mengerjakannya dengan khusyuk,” jawab Ali dengan muka murung.
“Dan pada rakaat
yang kedua, ketika sujud yang terakhir saya tetap khusyuk hingga duduk
tasyahud. Namun, ketika mendekati salam, barulah hati saya berubah, teringat
akan janjimu, ya Rasulullah, bahwa engkau akan memberikan hadiah surban
terbagus milikmu untuk saya. Maka rusaklah kekhusyukan shalat saya.”
“Hal itu terjadi
pula dengan yang lain,” ujar Nabi.
“Sebab khusyuk
itu diukur oleh Allah sebatas kemampuan manusia. Yang penting, ketika pikiranmu
terbawa kepada urusan lain, cepat-cepat kembalikan kepada shalatmu lagi. Dalam
mengerjakan shalat memang hendaknya seakan-akan kita mampu melihat dan
berbicara kepada Allah, tetapi kalau tidak mampu, asalkan kita ingat bahwa
Allah melihat kita, itu sudah memadai.”
Mendengar penuturan
Rasulullah, Ali bin Abi Thalib mengangguk-angguk. Meskipun masih berusia muda, tetapi
ia memiliki ilmu dan ketaatan yang terpuji keistimewaan khusus, sebagaimana
pernah dikatakan Rasulullah, jika beliau diibaratkan gudang, maka Ali bin Abi
Thalib adalah pintu gerbangnya.
Oleh: Risda Isnaini Zulfah
0 Komentar