Sudah tidak asing lagi kita dengar istilah taklid buta.
Yang perlu kita ketahui bahwa taklid buta (mengikuti orang lain tanpa
memperhitungkan alasan, bukti, dan hujah) merupakan kaidah dasar yang
senantiasa didengungkan orang kafir di segala zaman. Hujah
ini senantiasa menjadi jurus pamungkas mereka saat tak bisa berkelit menghadapi
tentara tauhid, baik dari kalangan para nabi atau yang mengikuti mereka.
Sebenarnya, yang mereka inginkan bukanlah kebenaran dengan mengemukakan alasan tersebut. Mereka
hanya menginginkan untuk tetap berada pada kebatilan yang sudah mendarah daging
ada pada mereka. Nas alullaha as salamah wal ‘afiyah.
Kita memohon keselamatan dan ampunan kepada Allah.
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa'di rahimahullah
menafsirkan ayat di atas, “Yang mereka lakukan ini (menyampaikan dalih
dengar taklid) bukanlah merupakan hal baru. Mereka
bukan orang
pertama yang mengucapkan ucapan ini. Argumentasi inilah yang dikeluarkan oleh
orang-orang musyrik yang sesat. Yakni, dengan taklidnya mereka terhadap nenek
moyang mereka yang sesat. Bukanlah maksud mereka mengikuti kebenaran dan petunjuk, mereka hanya
berpegang teguh pada fanatisme saja untuk menolong kebatilan yang ada pada
mereka.”
Sebagaimana yang dikatakan
oleh kaum Nabi Nuh Alaihisallam saat beliau menyerukan tauhid kepada
mereka:
“Maka
pemuka-pemuka orong yang kafir di antara kaumnya menjawab, ‘Orang ini tidak
lain hanyalah manusia seperti kalian, yang bermaksud hendak menjadi seorang
yang Iebih tinggi dari kalian. Dan
kalau Allah menghendaki, tentu Dia mengutus beberapa orang malaikat. Belum
pernah kami mendengar (seruan)
yang seperti ini pada masa nenek moyang kami dahulu.’” (Terjemah QS. Al Mu’minun: 24)
Bisa
kita lihat dari ayat tersebut,
mereka menjadikan patokan benar tidaknya sesuatu berdasarkan ada atau tidak
adanya ajaran tersebut pada masa nenek moyang. Artinya, mereka menafikan
kebenaran yang dibawa oleh Nabi Nuh Alaihisallam hanya berdasarkan
tradisi yang turun temurun dari nenek moyang.
Dalih yang sama juga dikemukakan oleh kaum ‘Ad kepada
nabi mereka, Nabi Hud Alaihisallam: “Mereka
berkata, ‘Apakah kamu datang kepada kami, agar kami hanya menyembah Allah saja
dan meninggalkan apa yang biasa disembah oleh bapak-bapak kami? Maka datangkanlah azab
yang kamu ancamkan kepada kami jika kamu termasuk orang-orang yang benar.” (Terjemah QS. Al-Araf: 70)
Mereka
berani memastikan bahwa apa yang disembah oleh nenek moyang mereka adalah
kebenaran. Maka, mereka pun berani menentang Nabi Hud Alaihisallam untuk
mendatangkan azab Allah.
Nabi
Musa Alaihisallam juga mendapatkan alasan yang sama saat menyerukan tauhid
kepada kaumnya. Allah subhanahu wa ta’ala
kisahkan: “Maka
tatkala Musa datang kepada mereka dengan (membawa) mukjizat-mukjizat Kami yang
nyata, mereka berkata, ini tidak lain hanyalah sihir yang dibuat-buat dan kami
belum pernah mendengar (seruan yang seperti) ini pada nenek moyang kami dahulu.” (Terjemah QS. Al Qashash: 36)
Argumen
kaum musyrikin sejak zaman dahulu sampai zaman sekarang tidak berubah, kecuali hanya redaksinya
saja dan maknanya masih sama. Mereka enggan
untuk meninggalkan
tradisi dan budaya yang sudah ditinggalkan oleh nenek moyang mereka. Meskipun
tradisi yang dianut oleh para nenek moyang itu adalah tradisi batil tanpa
berdasar dalil, padahal
tak jarang sejatinya mereka telah yakin benarnya ajaran yang dibawa oleh para
rasul tersebut.
Abu
Thalib, paman Rasulullah ﷺ adalah
contohnya. Abu Thalib sebenarnya yakin dengan kebenaran agama yang dibawa oleh
Rasulullah. Disebutkan
dalam beberap literatur sejarah, Abu Thalib mengucapkan: “Aku ditawari sebuah agama
dan aku tahu bahwa itu merupakan agama terbaik di antara manusia.”
Namun, sangat disayangkan, hal
itu tidak menyebabkannya masuk ke dalam agama yang dibawa oleh Rasulullah. Apa
sebabnya? Marilah kita simak kisah akhir hayat Abu Thalib. Saat Abu Thalib
sekarat, Rasulullah ﷺ
menemuinya, berharap pamannya tersebut mendapatkan hidayah sehingga masuk Islam
sebelum meninggalnya. Ternyata, di sana sudah ada Abu Jahal dan Abdullah bin
Umayyah, tokoh musyrikin Quraisy.
Nabi Muhammad ﷺ pun mulai mengajak pamannya untuk masuk
Islam, “Wahai paman, katakanlah ‘Laa ilaaha illallah’, sebuah kalimat untuk aku membelamu di hadapan
Allah.”
Namun,
dua gembong musyrikin tadi tak tinggal diam. Mereka mengatakan, “Apakah engkau benci dengan
agama Abdul Muththalib?” Rasulullah ﷺ mengulangi tawarannya,
mereka berdua pun mengulangi ucapannya. Demikian berkali-kali terjadi.
Akhirnya, Abu Thalib pun mati dalam keadaan masih memeluk agama Abdul
Muththalib. (Muttafaq 'alaih)
Perhatikanlah
pembaca, hanya dengan kata, “agama
Abdul Muththalib” saja,
sudah cukup untuk membuat Abu Thalib tetap bergeming dalam kekafiran. Abu Jahal dan Abdullah bin
Umayyah tahu bahwa itu sudah manjur, mereka pun cukup mengulanginya untuk
mernbantah kebenaran yang dibawa Rasulullah ﷺ, padahal
Abu Thalib yakin bahwa agama yang dibawa keponakannya itu adalah agama yang
benar. Maka bisa kita tarik kesimpulan dari kisah ini, betapa bahayanya taklid
terhadap nenek moyang. Wallahu A’lam bi
sawwab.
Oleh:
Ikhpa Erdayanti
0 Komentar