أَرِحْ نــَفْسَـكَ مِنَ الـتَّدْبِــيْرِ، فَمَا قَامَ
بِـهِ غَيْرُ كَ عَـنْكَ لاَ تَـقُمْ بِـهِ لِنَفْسِكَ
“Lapangkan dirimu atas takdir, jangan engkau sibukkan
dirimu dengan takdir, maka bermula sesuatu yang telah mengurus dengannya dari
engkau, janganlah kamu ikut mengurus/mengatur dengannya untuk diri engkau.” (Kitab
Al-Hikam Syekh Ibnu Atha’illah As-Sakandari)
Tanpa kita sadari, banyak hal yang telah Allah atur
untuk diri kita. Jaringan syaraf yang terus bekerja, paru-paru yang memompa
udara, oksigen yang kita hirup dengan leluasa, rezeki yang kita makan, dan
banyak hal lain yang sesungguhnya telah Allah atur untuk setiap manusia. Kita
tidak perlu terlalu khawatir, takut, turut serta melakukan pengaturan untuk
diri kita sendiri, tetapi bertawakallah. Sebagaimana firman-Nya:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا
لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَـٰكِن
كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُم بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan
bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan
bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka
disebabkan perbuatannya.” (Q.S.
Al-A'raaf: 96)
Syaikh
Ibnu ‘Athā’illāh berkata:
أَرِحْ نَفْسَكَ مِنَ التَّدْبِيْرِ
“Istirahatkan dirimu atau pikiranmu dari kesibukan
mengatur kebutuhan duniamu.”
Istirahatkanlah dirimu dari memikirkan sesuatu yang
belum terjadi, yakni jangan banyak berangan-angan dan memikirkan hal-hal yang
belum terjadi, seperti halnya memikirkan makan apa untuk hari esok atau bulan
depan. Sebab, Allah sudah mengirakan rezeki untukmu jauh sebelum engkau ada,
begitu juga ajalmu, nikmat, dan cobaan untukmu. Belum tentu apa yang engkau
pikirkan besok akan terjadi sehingga pikiran dan angan-angan itu tidak berguna
dan sia-sia belaka.
Tidak pernahkan engkau berpikir, dulu sebelum engkau
ada, engkau pun tidak pernah memikirkan dan tidak meminta pada Allah untuk
mewujudkanmu, lalu Allah berkehendak untuk menampakkanmu dengan kehendak-Nya
sendiri bukan dengan adanya permintaanmu. Allah menampakkanmu dengan
kehendak-Nya sendiri melalui tulang rusuk kedua orangtuamu, lalu Allah
memindahkan dalam kandungan ibumu, mulai dari segumpal darah selama 40 hari,
lalu menjadi segumpal daging selama 40 hari, lalu Allah membentukmu menjadi
laki-laki atau perempuan selama 40 hari dan memberinya ruh sehingga menjadi
sebuah janin yang membutuhkan makan dan minum. Kemudian, Allah menjadikan darah
sebagai makanan dan minuman janin tersebut. Allah menetapkan ajal, rezeki,
cobaan dan nikmat untuknya, begitu pula keberuntungan dan musibah atau kegagalan.
Allah mengeluarkanmu dari perut ibumu (lahir), engkau
pun berkeinginan untuk makan dan minum. Saat itu, engkau sangat lemah dan tidak
berdaya untuk mengunyah sehingga Allah menjadikan air susu ibumu sebagai
makanan dan minuman supaya engkau mampu bertahan. Engkau menjadi beban yang
teramat menyusahkan, tetapi Allah menaruh rasa belas kasih pada hati kedua
orangtuamu sehingga mereka mau merawatmu dengan sungguh-sungguh dan penuh
kasih-sayang. Mereka mengayun, menimangmu, dan menyiapkan kebutuhanmu, mulai engkau
bayi sampai engkau besar. Lalu, Allah memberi engkau kecerdasan, memberi akal
sesuai kadarnya, memberi iman, ilmu, dan lainnya.
Apakah semua itu diperoleh karena ikhtiar dan
permohonanmu kepada Allah? Atau karena angan-angan dan pemikiranmu? Tidak! Semua
itu terjadi atas kehendak qadha, qadar, dan belas kasih Allah. Jika begitu
halnya, maka apalah guna engkau ikut serta mengangankan, memikirkan, dan
mengirakan? Sebab, orang yang ikut serta memikirkan perkara yang bukan menjadi
urusannya itu tidak ada gunanya. Oleh karena itu, Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh
berkata:
فَمَا قَامَ بِهِ غَيْرُكَ عَنْكَ لَا تَقُمْ بِهِ
لِنَفْسِكَ
“Sebab apa yang sudah dijamin diselesaikan oleh selain
kamu, tidak usah engkau sibuk memikirkannya.” (Kitab
Al-Hikam Syekh Ibnu Atha’illah As-Sakandari)
Apa yang sudah diurus untukmu oleh Tuhanmu (Allah),
janganlah engkau turut mengurusnya. Apa yang sudah ditanggung oleh Allah
untukmu, apakah itu dalam hal-ihwal rezekimu serta lainnya, maka engkau jangan
ikut serta mengurusnya. Allah berfirman:
وَ مَا مَنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللهِ
رِزْقُهَا
“Tidak ada satu binatang melatapun di bumi ini kecuali
Allah sudah menanggung rezekinya ...”
(Q.S. Hūd: 6)
Andaikan seorang raja dunia sudah menanggung kebutuhan
duniawi selama hidupmu, dia memberimu sebuah bukti berupa surat yang di
dalamnya ada tanda tangan raja itu sendiri bahwa beliau benar-benar sudah
menanggung makanan dan pakaian untukmu sepanjang hidupmu, maka engkau akan
benar-benar mau mempercayainya dengan adanya surat dari raja tersebut. Nah,
bagaimana bila yang menjamin dan menanggungnya adalah raja dari semua raja yang
menguasai langit dan bumi, lebih-lebih Dia sudah menurukan sebuah surat melalui
kitab suci-Nya (al-Qur’ān)? Lalu, apakah engkau tidak mempercayainya dan engkau
masih saja memikir-mikirkan masalah pangan dan sandangmu, dalam artian tidak
mempercayai janji Allah? Dengan adanya imanmu yang seperti ini, sungguh amat
hina dirimu. Jikalau engkau mau mempercayai janji raja dunia yang lemah, tetapi
tidak mau mempercayai janji Allah, Dzat yang menguasai langit dan bumi, maka
sungguh telah hilang keimanan pada dirimu. Renungkanlah nasehat Guru K.H.
Muhammad Bakhiet berikut.
“Janganlah mengatur, merancang/merencanakan segala
sesuatu seakan memiliki kuasa atas sesuatu itu, seakan memiliki kemampuan, daya
upaya serta kekuatan di dalamnya karena ini yang bisa menimbulkan
ketidaksenangan Allah terhadap hamba-Nya. Bagaimana agar Allah senang serta Ridho
terhadap rancangan dan rencana yang telah dibuat? Maka sertakan segala sesuatu
tersebut dengan menyebut kalimat ‘ إن
شاء الله / InsyaAllah Bihaulillah waa
quwwati’ (atas izin Allah dengan daya dan upaya kekuatan Allah)
Kalimat di atas selalu disebut ketika ingin
merencanakan sesuatu, seakan semuanya berpegangan dan menggantung harap kepada
Allah sehingga Allah meridhoi setiap langkah dan usaha. Keimanan dalam hati
yang terdalam inilah yang akan membuahkan hati tenang tidak terombang-ambingkan
oleh bujukan nafsu sehingga akan muncullah ketawakkalan yang total hanya kepada
Allah, setiap langkah, usaha, amal yang akan dilakukannya akan selalu berdasar
pada ‘لاَحَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ اِلاَّبِاالله ’”
Wallāhu a‘lam.
Oleh: Rindhea Auliana
0 Komentar