Sebut saja ada seorang remaja
bercerita dengan bangga bahwa dia telah memperoleh gaji yang sangat banyak hingga mencapai enam juta
rupiah. Dia hanyalah seorang karyawan biasa di sebuah perusahaan dan bahkan baru
saja bekerja selama tiga bulan. Usut punya usut, ternyata, dia bekerja selama 1 x 18 jam dalam tiga bulan
tersebut. Dia bekerja dari jam 6 pagi sampai jam 12 malam dan bahkan lembur
selama sebulan penuh. Setiap pagi, dia harus berangkat jam 5 pagi dan pulang ke
rumah jam 1 dini hari. Begitu sampai di rumah langsung tidur dan yang
terpikirkan olehnya besok harus kembali bekerja. Titik. Hanya itu, dan setiap
malam dia harus mengonsumsi pil multivitamin supaya besok hari siap kerja dan
kerja. Sampai suatu ketika perusahaan tempat dia bekerja menawarkan shift
kerja spesial. Perusahaan tempatnya bekerja menawarkan gaji harian yang dilipat
gandakan menjadi dua kali lipat jika bekerja pada setiap hari libur selain hari
Minggu. Terlebih, jika mau bekerja di hari raya Idul Fitri, gaji akan dilipat
gandakan menjadi empat kali lipat. Lalu, apakah dia mengiyakan? Jelas! Pikirnya
hanya satu, uang harus selalu dikumpulkan karena itu adalah hakikat bekerja.
Setiap hari, jalanan selalu macet. Lampu merah
merupakan ujian kesabaran terhebat bagi mereka yang pergi bekerja. Ketika lampu
hijau menyala seakan tidak boleh ada detik yang sia-sia. Tepat jam 7.00,
jalanan sepi dan orang-orang berhamburan berlarian menuju ruang kerja mereka.
Satpam yang bertugas di depan pintu perusahaan-perusahaan membukakan pintu
tanpa seutas senyuman. Tidak penting memberi senyuman karena yang datang
sebenarnya adalah robot yang terbungkus daging manusia. Mereka bekerja dari siang
hingga malam, bahkan sekalipun ketika mereka kelelahan. Waktu istirahat yang
seharusnya didapat para karyawan selama satu jam dipotong menjadi lebih pendek. Perusahaan membuat
kebijakan baru bahwa istirahat cukup 30 menit, tetapi waktu pulang tidak
berubah. Para karyawan tidak ada yang protes karena perusahaan memberikan
tambahan gaji pada mereka. Lagi-lagi, uanglah yang berkuasa. Uanglah yang
menjadi tujuan. Uanglah segala-galannya!
Di tempat lain, ada sebuah perusahaan yang
memberlakukan liburan hanya setiap tiga minggu sekali. Artinya, liburan hanya
sehari dan tidak ada pilihan bagi karyawan selain mengikuti aturan tersebut.
Sebut saja ada seorang teman yang ada niatan untuk berhenti bekerja, tetapi dilarang
oleh istrinya. Bagi si istri, kerja sebagai tukang servis dengan penghasilan
tidak tetap sangatlah berisiko. Sebab, kebutuhan yang terlalu banyak, apalagi
urusan susu formula untuk anak.
Malam hari ketika jam kerja usai, bagaimanakah
keadaan para pekerja? Dimanakah mereka saat malam hari?
Mereka yang katanya berkelas, biasanya
singgah di kafe-kafe atau klub malam dan memesan tempat di lantai atas yang mana langsung beratapkan langit. Adapun yang lain,
memutuskan untuk menatap layar datar di rumah, ya, televisi menjadi pilihan murah meriah, meski pada akhirnya akan tertidur
pulas. Besok harinya
mesin pabrik haruslah menyala lagi dan merekalah tuas On-Off-nya. Seakan tidak boleh lelah, mereka harus siap kapanpun perusahaan memanggil. Mereka harus berangkat kerja walau sedang sakit. Berbagai jenis obat sudah mereka konsumsi
agar tubuh tetap fit. Yang terpikir hanyalah
kerja dan kerja. Seakan mereka bukan makhluk sosial yang harus bergaul dengan
warga lainnya di kampung.
Bisa jadi kekayaan akan mereka dapatkan. Bahkan
lebih cepat waktunya dari yang mereka pikirkan. Akan tetapi, batin mereka
sangatlah rapuh. Kebutuhan batin telah diabaikan. Al-Qur'an tidak lagi disentuh, shalat awalnya terlambat kemudian dijamak dengan alasan waktunya sudah
tidak sempat. Selanjutnya, shalat mulai diqodlo hingga berani meninggalkam satu waktu shalat, dan seterusnya. Kaki menjadi berat diajak
melangkah ke masjid, ke majlis-majlis ta'lim. Mereka
melewati masjid setiap hari, tanpa pernah sekalipun masuk ke
dalamnya, kecuali hari Jum'at dan itupun saat khotib menyampaikan khutbah. Itulah saat yang paling tepat
untuk istirahat. Begitu lelapnya
tertidur saat itu hingga tiba-tiba
yang terdengar adalah iqomah.
Batin mereka sungguh rapuh. Isi pikiran mereka
adalah bagaimana mengoperasikan mesin
dengan sebaik-baiknya. Sebentar lagi,
masa kontrak kerja usai. Batin masih terjerumus pada dunia tanpa pilihan. Yang
penting kerja. Apapun pekerjaannya! Daripada
menganggur,
sebesar apapun risikonya, jalani
saja!
Sebentar lagi,
usia juga tak lagi muda. Asap dan debu jalanan yang setiap hari dihirup, aroma
limbah pabrik yang menyesakkan dada, dan kegiatan rutinitas yang menggunung
tumpukkannya setiap hari seakan tiada habisnya hingga semua virus yang mereka nikmati setiap hari membuat tubuh mereka menjadi sangat ringkih. Sekali
terserang penyakit, seakan tubuh sudah tidak memiliki pertahanan sehingga
dengan mudah penyakit menggerogoti tubuh yang tidak kuat untuk bangkit lagi.
Renungkanlah!
Sebenarnya,
semuanya bisa saja dikerjakan dengan porsi masing-masing. Ketentuan yang lumrah
tentang jam kerja adalah sekitar 7-8 jam. Apabila ditambah dengan waktu
perjalanan dan pulang, maka menjadi 9-10 jam. Adapun tidur yang sehat dalam
sehari minimal 8 jam dalam sehari, maka masih tersisa 7-8 jam yang mana saat
itu adalah saat dimana kita melengkapi posisi kemanusiaan kita.
Dalam presfektif keluarga, bekerja secara normal adalah ketika kita masih punya waktu yang cukup, baik secara
kuantitas maupun kualitas. Akan ada lebih banyak waktu dengan keluarga, bisa bercengkrama dengan orang tua, suami, istri,
terlebih anak-anak. Bisa mendampingi masa pertumbuhan mereka, memperhatikan dan
mendengarkan masalah yang mereka hadapi. Sebagai
anak, mereka ingin waktu yang melimpah untuk
berlama-lama di samping orang tua. Hati mereka mengatakan ingin seperti waktu
engkau kecil dulu. Mereka juga ingin mendengar keluh kesahmu, membelai rambutmu
dan mendoakanmu.
Dalam presfektif sosial kemasyarakatan, Anda juga
punya banyak waktu yang cukup untuk berjamaah ke masjid kampung. Sekedar mengobrol dengan warga yang melintaas di depan rumah.
Anda juga punya banyak waktu luang untuk berolahraga ringan di lingkungan
sekitar rumah Anda.
Dalam presfektif ibadah, ketersediaan waktu luang
yang melimpah untuk meningkatkan kualitas
ibadah kita. Khususnya, untuk urusan
ibadah dalam ruang lingkup
yang luas. Semakin luang waktu Anda di luar jam kerja, maka semakin besar pula peluang Anda untuk beribadah. Beribadah dalam arti
seluas-luasnya. Anda bisa
bersilaturrahim dengan sanak kerabat atau teman dan sahabat. Anda memiliki
waktu untuk membaca dan mengkaji Al-Qur'an, berzikir, hadir di majlis-majlis
ilmu. Pembagian waktu yang sangat Islami ini akan mengarahkan kita menjadi
manusia yang sehat lahir dan batin.
Alhasil, kita adalah manusia yang disempurnakan dengan rasa dan hubungan dengan sesama dan Sang Pencipta.
Pentingnya keseimbangan hidup
dengan tetap mengedepankan nilai-nilai ibadah dalam semua
gerak-gerik kita. Ada pepatah yang mengatakan,
“Bekerjalah seakan engkau akan hidup selamanya, beribadahlah seakan engkau akan mati esok. Bangunlah kerajaanmu semegah
mungkin di dunia, namun jadikan kerajaanmu itu yang akan mengantarmu ke surga
yang abadi.”
Ikhwan wa akhwat fillah, bisa
jadi engkau saat ini belum bekerja dan belum mengalami apa yang barusan kalian
baca. Namun, sadarilah bahwa engkau manusia, bukan robot. Kelak pada waktunya,
engkau harus benar-benar berlaku adil. Hidup memang butuh kerja, tetapi hidup
bukan hanya untuk bekerja saja.
Allah pemilik segalanya. Mendekatlah kepada-Nya! Tidak sekadar
keinginanmu saat ini yang akan terpenuhi, tetapi
masa depanmu pun sudah Allah bereskan semuanya. Tidak sekadar motor yang engkau minta yang akan Allah
kabulkan, mobil mewah pun sudah Allah siapkan. Tidak sekadar menjadi karyawan, jika perlu engkaulah pemilik
perusahaan. Tidak sekedar bahagia di dunia, tetapi bahagia juga di akhirat. Pada akhirnya, engkau tidak perlu
mencari dunia, tapi dunialah yang akan
mencarimu!
Oleh: Normasanti
3 Komentar
Masyaallah langsung kehati pesan-pesanan🙏🏻
BalasHapusMantap
BalasHapusMasyaAllah, keren bnar
BalasHapus