Menakar Kesalahan Memahami Himbauan MUI





Tulisan ini tidak dibuat untuk membahas apalagi menolak isi Fatwa MUI tentang Ramadhan karena kita mencintai dan mentaati ulama kita. Tapi tulisan ini adalah refleksi dan analisa kritis tentang bagaimana gagal paham kita memahami dan melaksanakan himbauan bersama tersebut secara proporsional sesuai dengan kondisi psikologis dan sosiologis ummat.

Saat ini secara psikologis ummat islam sangat terkejut dengan perubahan drastis suasana syiar keislaman utamanya di dalam kondisi Ramadhan. Mulai dari ditiadakannya buka puasa bersama, berkurangnya suara adzan, tidak adanya suara tarawih dan tadarusan, tidak ada suara ceramah atau kuliah subuh membuat kondisi menjadi tidak nyaman bagi sebagian ummat.

Ironisnya ketidaknyamanan tersebut tidak diimbangi dengan edukasi yang memadai tentang bagaimana ummat selayaknya bersikap dan akhirnya melahirkan bola salju penolakan himbauan. Indikasinya simple, ada yang tarawih sembunyi-sembunyi, ada yang buka puasa sembunyi-sembunyi dan lain sebagainya, saya menilai semua bermuara dari shock syndrome akibat terhentinya syiar secara mendadak. Padahal, yang dihimbau oleh edaran bersama itu adalah kegiatan jama'inya atau berkumpulnya, bukan syiarnya.

Contoh pertama: Buka Puasa Bersama
Yang dilarang adalah berkumpulnya, tapi menyediakan makanannya untuk berbuka tidak dilarang, jadi idealnya di tengah banyaknya ummat yang jatuh miskin dan kelaparan justru harusnya buka puasa tetap diadakan tanpa pengumpulan masa, bentuk panitia secara khusus, bagikan dan antarkan makanan berbuka jemaah fakir miskin yang berpuasa, itu cara cerdas dalam menakar dan memahami fatwa, buat apa kas masjid puluhan juta tapi kalau jamaah di sekitarnya mati kelaparan.

Contoh kedua: Suara Adzan, Sholat Tarawih dan Tadarus.
Karena banyak yang beribadah di rumah, maka langgar musholla jadi kosong, adzan tidak lagi berkumandang, suara tarawih juga tidak jalan, suara tadarus juga tidak ada, padahal yang dilarang BERKUMPUL-nya bukan sholatnya, bukan tarawihnya, bukan tadarusnya, inilah karena salah memahami himbauan Ulama.

Seharusnya adzan tetap jalan, suara tarawih tetap jalan, tadarus juga tetap jalan, tapi hanya dilaksanakan oleh takmir masjid dan musholla, jamaah diedukasi untuk tetap di rumah, jadi syiar tetap jalan social distance tetap terjaga.

Contoh Ketiga: Kuliah Subuh dan Kajian Keagamaan
Yang dilarang adalah pengajian dalam bentuk menghadirkan jamaah, tapi kalau pengajian dalam keadaan tertutup, lalu mic-nya saja dinyaringkan ke luar kan tidak dilarang, justru ini menjadi moment untuk mengedukasi masyarakat, mengajarkan tata cara sholat tarawih di rumah, mengajarkan cara hidup sehat dan mencegah peredaran covid 19, minimal suara ceramah didengar jamaah sekitar masjid dan musholla .

Tiga contoh kasus diatas cukup menjadi gambaran tentang gagal paham sebahagian kita memahami himbauan Ulama, akibatnya runyam daerah kita mendadak sepi tanpa syiar Ramadhan. Pendapat ini tentu banyak sekali kekurangannya jadi mohon dimaafkan, Anda boleh tidak setuju, tapi adalah hak saya untuk bersuara, lebih baik bersuara daripada sakit hati melihat keadaan.

Tabik,
Zainal Abidin Asmari .



Posting Komentar

0 Komentar