COVID-19: Tabir di Balik Kebijakan MUI dan Pemerintah


sumber foto: kanalkalimantan.com

Covid-19 atau coronavirus merupakan virus menular yang pertama kali muncul di Wuhan, China. Virus ini tengah menggemparkan dunia karena tingkat penyebarannya yang sangat tinggi dan resiko kematian yang tinggi pula. Virus tersebut sangat cepat menular melalui kontak fisik secara langsung atau percikan dari bersin atau batuk orang yang terinfeksi. Covid-19 telah sampai ke Indonesia. Pemerintahpun dengan sigap mengeluarkan banyak kebijakan untuk mengantisipasi semakin banyaknya orang yang terinfeksi. Salah satu kebijakan pemerintah adalah agar masyarakat tetap tinggal di rumah, menjaga kebersihan dan melakukan social distancing (pembatasan sosial).

Tahukah kalian bahwa wabah penyakit menular juga pernah terjadi di zaman Rasulullah? Zaman dahulu kala, ada sebuah penyakit yang sangat ditakuti karena dapat menular dan menyebabkan kematian. Penyakit itu adalah Tha’un. Apakah itu Tha’un? Tha’un adalah sejenis penyakit kulit seperti cacar atau kusta.

Rasulullah Saw. bersabda yang artinya: “Dari Usamah bin Zaid Ra. Dari Nabi Saw., beliau bersabda “Jika kalian mendengar penyakit Tha’un sedang menjangkiti sebuah daerah, maka janganlah kalian memasuki daerah tersebut dan jika sudah menjangkiti sebuah daerah sedang kalian berada di dalamnya, maka janganlah kalian keluar.” (Muttafaqun ‘alaih)

Cara tersebut pernah diterapkan Umar bin Khattab dan rombongan yang hendak pergi ke Syam, namun setelah mendengar kota Syam tengah dilanda wabah Tha’un beliaupun bermusyawarah dan memutuskan untuk  tidak jadi ke sana. Beliau berkata “Kita lari dari takdir Allah menuju takdir Allah yang lain.”

Pengalaman sahabat Rasulullah tersebut dapat kita jadikan pembelajaran dalam meminimalisir coronavirus yang tengah mewabah di Indonesia. Hal tersebut pula yang diterapkan oleh pemerintah melalui adanya kebijakan belajar, bekerja, serta shalat jum’at dan shalat berjama’ah di rumah.

Pertanyaannya, bolehkah kita melakukan shalat jum’at dan shalat berjama’ah di rumah? Jawabannya boleh, karena shalat jum’at dan shalat berjama’ah adalah manfaat, sedangkan coronavirus  adalah bahaya atau mudharat. Karena itu, mencegah mudharat lebih didahulukan daripada yang mendatangkan manfaat. Ustadz Abdul Shomad berkata yang dikutip dari kitab Siyar A’lam an-Nubala “Wabah penyakit menular yang sangat dahsyat pernah terjadi di Andalusia, Spanyol. Lalu masjid-masjid di tutup dan tidak ada orang yang shalat di masjid.” Hal tersebut persis terjadi seperti saat ini. Tugas kita adalah mentaati perintah Allah, Rasulullah dan Ulil Amri. Ulil ‘Amri yang kita patuhi saat ini adalah pemerintah dan MUI. MUI telah mengeluarkan fatwa untuk meniadakan shalat jum’at dan shalat berjama’ah di masjid untuk sementara waktu dan mengganti shalat jum’at dengan shalat zuhur. Kita sebagai orang awam lebih baik mengikuti MUI yang telah memutuskan dengan permusyawarahan dan pertimbangan. MUI memutuskan hal tersebut, bukan berarti melarang kita untuk beribadah melainkan hal tersebut dilakukan sebagai ikhtiar untuk menyelamatkan jiwa agar tidak semakin banyak yang terinfeksi corona. Maka untuk sementara waktu lebih baik kita tidak pergi ke masjid dulu. Bukankah kita masih bisa melakukan shalat berjama’ah di rumah? yaitu shalat berjama’ah bersama keluarga. Bukankah mencegah lebih baik dari mengobati?

Kemudian ada yang berkomentar seharusnya kita takut kepada Allah bukan kepada virus. Memang benar seharusnya kita takut kepada Allah, coronavirus adalah makhluk Allah, tapi bukankah Allah memerintahkan kita untuk berikhtiar? Apakah saat kalian masuk ke kandang harimau kalian akan berdiam diri menunggu untuk dimakan?

Jadi, untuk teman-teman yang dirahmati Allah mari kita jaga diri kita, keluarga dan orang-orang sekitar kita dengan tetap berdiam diri di rumah. Berbelaskasihlah dengan para tim medis dan pemerintah, jangan bandel. Lebih baik di rumah saja karena disebutkan dalam hadits riwayat Bukhari, An-Nasa’I dan Ahmad yang dimuat dalam Fathul Bari bahwa  “Orang yang berdiam diri di rumah saat terjadi wabah akan mendapatkan pahala syahid walaupun yang bersangkutan tidak sampai meninggal dunia.” Kapanlagi kita dapat pahala seperti mati syahid? Mari kita jadikan kejadian saat ini sebagai pembelajaran dan sarana untuk terus mendekatkan diri kepada Allah Swt.


Oleh: Yulia Handayani

Posting Komentar

1 Komentar