Setiap
individu yang diberi kesempatan hidup di atas permukaan bumi memiliki keharusan
untuk berikhtiar mencari rezeki yang halal bagi diri dan keluarganya agar mendapatkan
keberkahan dan bernilai ibadah dari rezeki yang diusahakan itu. Setiap
makhluk yang Allah ciptakan tentu beriringan dengan jatah rezekinya. Bukankah
hewan yang tak berakal saja mendapatkan porsi rezeki dari Sang Pencipta? Apalagi manusia
sebagai makhluk istimewa yang tercipta dengan segala kesempurnaan yang disebut
dalam al-Qur’an, fi ahsani taqwim (makhluk sebagus-bagus bentuk), tentu lebih kreatif
dibandingkan makhluk lain dalam hal mengelola alam ini dalam rangka memenuhi
kebutuhan hidupnya. Allah berfirman,
وَمَا مِن دَآبَّةٍ فِى ٱلْأَرْضِ إِلَّا
عَلَى ٱللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا ۚ كُلٌّ فِى
كِتَٰبٍ مُّبِينٍ
“Dan tidak ada satu
binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat
berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab
yang nyata.”
(Q.S. Hud: 6)
Sifat
malas pada diri sebagian manusia menyebabkannya ingin memperoleh rezeki dengan cara
instan tanpa perlu bekerja. Tak peduli walaupun cara itu merendahkan harga dirinya
sendiri sebagai individu yang memiliki kehormatan. Kaum pemalas itu pada
akhirnya, ada yang memilih berprofesi
sebagai pengemis yang berkeliaran di jalan, mengiba uluran tangan dari para
pengguna jalan, padahal
kondisi fisiknya sehat, anggota tubuhnya sempurna tanpa ada cacat sedikitpun.
Rasulullah melarang umatnya untuk malas
atau berpangku tangan. Beliau justru memotivasi untuk meningkatkan etos kerja
demi mencukupi kebutuhan hidupnya. Orang yang rajin bekerja, sekecil apapun
penghasilan yang diperolehnya, meskipun
pekerjaannya dipandang hina di hadapan manusia, itu jauh lebih mulia
dibandingkan dengan peminta-peminta yang menggadaikan harga dirinya demi uang.
عَنْ
هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَأَنْ يَأْخُذَ أَحَدُكُمْ حَبْلًا فَيَأْتِيَ الْجَبَلَ
فَيَجِيءُ بِحُزْمَةٍ مِنْ حَطَبٍ عَلَى ظَهْرِهِ فَيَبِيعَهَا فَيَسْتَغْنِيَ بِهَا،
خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ أَعْطَوْهُ أَوْ مَنَعُوهُ
“Dari Hisyam bin Urwah,
dari ayahnya, dari kakeknya berkata:
Rasulullah ﷺ
bersabda, ‘Sungguh seorang dari
kalian yang mengambil talinya lalu dia mencari seikat kayu bakar dan dibawa
dengan punggungnya kemudian dia menjualnya lalu Allah mencukupkannya dengan
kayu itu lebih baik baginya daripada dia
meminta-minta kepada manusia, baik
mereka memberinya atau tidak.’”
(HR. al-Bukhari)
Makanan terbaik yang dimakan oleh seorang
hamba dan diberikan kepada keluarganya adalah yang diperoleh dengan cucuran
keringatnya sendiri. Dia akan mendapat keberkahan dari kerja kerasnya itu. Para
nabi utusan Allah tak serta merta mendapatkan makanan dari langit setiap
harinya tanpa perlu berusaha mencari penghidupan. Di samping tugasnya
menyampaikan risalah kepada umatnya, para nabi juga bekerja sesuai dengan
keahliannya.
Kita bisa belajar dari nabi Daud yang
dikenal sebagai seorang raja Bani Israil. Sebagai raja, tentu beliau memiliki
pelayan yang siap melayani apapun kebutuhannya. Kondisi nyaman itu, tak lantas
membuat beliau hanya duduk santai di atas singgasana sambil memberi perintah
kepada para pengawalnya. Akan tetapi, beliau tetap bekerja dengan keahlian yang
Allah berikan, yaitu kemampuan untuk melembutkan besi dengan tangan kosong tanpa
perlu ditempa, sebagaimana pandai besi pada umumnya.
عَنِ المِقْدَامِ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: مَا
أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ، خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ، وَإِنَّ
نَبِيَّ اللَّهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ، كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
“Dari Miqdam ra, dari
Rasulullah ﷺ,
beliau bersabda, ‘Tidaklah
seorang hamba memakan makanan yang lebih baik dari hasil usahanya sendiri, dan
sungguh Nabi Daud ‘Alaihissalam makan dari hasil usahanya sendiri.’” (HR.
Al-Bukhari)
Seharusnya kita sebagai manusia yang
diberikan anugerah akal dan nikmat sehat harus bersyukur dan berusaha mencari rezkinya
serta keberkahan dari hasil tersebut. Bersyukurlah sahabat semua yang mempunyai
keluarga berkecukupan, tetapi kita tidak boleh dibuat malas-malasan. Jadilah manusia yang bermanfaat
bagi orang sekitar dan peduli lingkungan. Sebaliknya, bagi sahabat yang mempunyai
keluarga secukupnya saja, jangan berkecil hati ataupun memberontak memaksakan
kehendak kepada orang tua. Kita masih diberikan nikmat sehat tubuh yang kuat untuk bekerja,
bantulah mereka yang sudah rapuh.
Kita
masih bisa bersyukur mempunyai fisik yang kuat, tidak ada cacat sedikitpun. Coba lihat di luar sana mereka yang mempunyai
kekurangan (cacat) berjalan tertatih-tatih hanya untuk memenuhi makan sehari-hari,
enggan untuk meminta-minta selama ia bisa melakukannya. Sebaliknya, ada juga
yang mempunyai fisik yang kuat, tetapi berpura-pura cacat
hanya untuk meminta-minta di pinggiran
jalan kota. Bukankah tangan
di atas
lebih baik dari pada tangan di bawah? Allah menjanjikan kita itu
mulia.
Oleh karena itu,
jadilah orang yang mulia menurutmu tanpa harus menghinakan dirimu sendiri.
Oleh:
Halidah
0 Komentar