Umat Islam di seluruh penjuru dunia
tentu saja tidak asing lagi dengan sosok Imam Syafi’i. Beliau adalah salah satu
ulama yang sangat tekenal dan merupakan salah satu imam madzhab fikih yang
menjadi rujukan bagi seluruh umat muslim di dunia, lebih khusus umat Islam yang
ada di negara Indonesia. Oleh karena itu, saya di sini tertarik untuk mengupas
mengenai biografi tentang Imam Syafi’i.
Nama lengkap Imam Syafi’i adalah
Muhammad ibn Idris ibn Al-abbas ibn Usman ibn Syafi’i. Beliau lahir di Guzzah
pada tahun 150 H atau 767 M, bertepatan dengan wafatnya seorang ulama Hijaz
yang berdomisili di Makkah, yaitu Ibnu Juraij al-Makki, dan bertepatan
pula dengan wafatnya seorang ulama besar di Irak, yaitu Abu Hanifah.[1] Nama Syafi’i diambilkan dari nama
kakeknya, Syafi’i, dan Qusay bin Kilab yang juga kakek dari Nabi Muhammad ï·º.
Imam Syafi’i dilahirkan pada tahun 150 H di tengah-tengah keluarga
miskin di Palestina, sebuah perkampungan orang-orang Yaman. Imam Syafi’i
memiliki gelar Hasbirul Hadits (pembela hadis). Beliau mendapat gelar
ini karena dikenal sebagai pembela hadis Rasulullah ï·º.
Dari segi urutan masa, Imam Syafi’i merupakan imam ketiga dari
empat orang imam yang masyhur. Akan tetapi, keluasan dan jauhnya jangkauan
pemikirannya dalam menghadapi berbagai masalah yang berkaitan dengan ilmu dan
hukum fikih menempatkannya menjadi pemersatu semua imam. Ia sempurnakan
permasalahannya serta ditempatkannya pada posisi yang tepat dan sesuai sehingga
menampakkan dengan jelas pribadinya yang ilmiah.[2]
Ayahnya meninggal saat ia masih sangat kecil, lalu ibunya
membawanya ke Makkah. Di Makkah, Imam Syafi’i bersama ibunya dalam keadaan miskin
dan kekurangan, tetapi Imam Syafi’i
mempunyai cita-cita tinggi untuk menuntut ilmu, sedangkan ibu beliau
bercita-cita agar anaknya menjadi orang yang berpengetahuan, terutama
pengetahuan agama Islam. Oleh karena itu, ibu Imam Syafi’i berjanji akan
berusaha sekuat tenaga untuk membiayai anaknya selama menuntut ilmu.
Imam asy-Syafi’i adalah seorang yang tekun dalam menuntut ilmu. Dengan
ketekunannya itulah, dalam usia yang sangat muda, yaitu sembila tahun, ia sudah
mampu menghafal al-Qur’an. Di samping itu, ia juga hafal sejumlah hadis.
Diriwayatkan bahwa karena kemiskinannya, Imam Syafi’i hampir-hampir tidak dapat
menyiapkan seluruh peralatan belajar yang diperlukan sehingga beliau terpaksa
mencari-cari kertas yang tidak terpakai atau telah dibuang, tetapi masih dapat
digunakan untuk menulis.
Setelah selesai mempelajari Al-qur’an dan hadis, asy-Syafi’i
melengkapi ilmunya dengan mendalami bahasa dan sastra Arab. Untuk itu ia pergi
ke pedesaan dan bergabung dengan Bani Huzail, suku bangsa Arab yang paling
fasih bahasanya. Dari suku inilah, asy-Syafi’i mempelajari bahasa dan
syair-syair Arab sehingga ia benar-benar menguasainya dengan baik.[3] Dalam waktu kurang lebih sepuluh
tahun, Imam Syafi’i belajar di sana dan bolak-balik antara desa suku Huzeil
untuk belajar bahasa, sastra, olahraga dan ke Makkah untuk meminta nasehat dari
ibundanya sekaligus belajar ilmu al-Quran dan al-Hadis dari guru-gurunya di
Masjidil Haram.[4]
Pada awalnya, Syafi’i lebih cenderung pada syair, sastra, dan
belajar bahasa Arab sehari-hari. Namun, dengan demikian, justru Allah menyiapkannya
untuk menekuni fikih dan ilmu pengetahuan. Imam Syafi’i menuntut ilmu di Makkah
dan mahir di sana. Ketika Muslim bin Khalid az-Zanji memberikan peluang untuk
berfatwa, Syafi’i merasa belum puas atas jerih payahnya selama ini. Ia terus
menuntut ilmu hingga akhirnya pindah ke Madinah dan bertemu dengan Imam Malik.
Sebelumnya, ia telah mempersiapkan diri membaca kitab Al-Muwaththa’ (karya
Imam Malik) yang sebagian besar telah dihafalnya. Ketika Imam Malik bertemu
dengan Imam Syafi’i, Malik berkata, “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa ta’ala
telah menaruh cahaya dalam hatimu, maka jangan padamkan dengan perbuatan
maksiat.” Mulailah Syafi’i belajar dari Imam Malik dan senantiasa
bersamanya hingga Imam Malik wafat pada tahun 179 H. Selama itu, ia juga mengunjungi
ibunya di Makkah.[5]
Kematian Imam Malik berpengaruh besar terhadap kehidupan Imam Syafi’i. Semula
ia tidak pernah memikirkan keperluan-keperluan penghidupannya, tetapi setelah
kematian gurunya, hal itu menjadi beban pikiran yang tidak dapat diatasinya.
Di akhir hayatnya, Imam Syafi’i sibuk berdakwah, menyebarkan ilmu,
dan mengarang kitab di Mesir, sampai-sampai beliau jatuh sakit dan terkena
penyakit wasir yang menyebabkan keluarnya darah. Namun, karena kecintaan
terhadap ilmu, Imam Syafi’i tetap melakukan pekerjaannya itu dengan baik, tidak
memperdulikan sakitnya, sampai akhirnya beliau wafat pada usia 50 tahun di
Mesir pada malam Jum’at seusai sholat Magrib, yaitu pada hari terakhir bulan Rajab.
Beliau dimakamkan pada hari Jum’atnya tahun 204 H atau 819/820M. Kuburan Imam
Syafi’i berada di kota Kiro, di dekat Masjid Yazar yang berada dalam lingkungan
perumahan yang bernama Imam Syafi’i.[6]
Oleh: Mirli
Widiya Wati
[1] Muhammad Misbah, “Pemikiran
Imam Al-Syafi’i(w.204 h) Tentang Tafsir”, dalam Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan
Tafsir STAIN Kudus, Vol. 10, No. 1, 2016, h. 42.
[2] Mustafa Muhammad Asy-Syaka’ah, Islam Bila Mazahib, alih bahasa: A.M
Basalamah, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), h. 349.
[3] Lahmuddin Nasution, Pembaharuan Hukum Islam Dalam Mazhab Syafi’i, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001), h. 17.
[4] Rohidin, “Histori Pemikiran
Hukum I,a, Asy-Syafi’i”, dalam Jurnal Hukum, Vol. 11, No. 27, 2004,
h. 99.
[5] Ahmad asy-Syurbasi, Al-Aimmah Al-Arba’ah, Futuhul Arifin,
Terj 4 Mutiara Zaman, (Jakarta: Pustaka Qalami, 2003), h. 131-133.
[6] Rahmat Hidayat, “Pemikiran
Pendidikan Islam Imam As-Syafi’i dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Islam Di Indonesia”,
dalam Jurnal Almufida Universitas
Dharmawangsa, Vol. 3, No. 01, 2018, h. 112.
0 Komentar