Rasulullah ï·º
bersabda, “Tak mungkin berkumpul pada kalbu seseorang kekufuran dan
keimanan, kejujuran dan kedustaan, pengkhianatan dan amanah.” (HR Ahmad)
Di dalam Al- Quran,
Allah Subhanahu wa ta’ala
berfirman:
ÙŠَٰٓØ£َÙŠُّÙ‡َا ٱلَّØ°ِينَ Ø¡َامَÙ†ُوا۟ Ù„َا تَØ®ُونُوا۟
ٱللَّÙ‡َ Ùˆَٱلرَّسُولَ ÙˆَتَØ®ُونُÙˆٓا۟ Ø£َÙ…َٰÙ†َٰتِÙƒُÙ…ْ ÙˆَØ£َنتُÙ…ْ تَعْÙ„َÙ…ُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian
mengkhianati Allah dan Rasul-Nya. Jangan pula kalian mengkhianati amanah-amanah
kalian. Padahal kalian tahu.”
(QS al-Anfal: 27)
Menurut Ibnu Abbas, ayat di atas bermakna: “Janganlah kalian
mengkhianati Allah Subhanahu
wa ta’ala dengan meninggalkan
kewajiban-kewajiban-Nya. Janganlah kalian mengkhianati Rasulullah ï·º dengan meninggalkan
sunah-sunahnya. Janganlah kalian bermaksiat kepada keduanya.”
(Al-Qinuji, Fath al-Bayan, 1/162)
Di antara sekian banyak amanah, yang
paling penting adalah amanah kekuasaan. Rasulullah ï·º bersabda,
Ù…َا Ù…ِÙ†ْ عَبْدٍ ÙŠَسْتَرْعِيهِ اللَّÙ‡ُ رَعِÙŠَّØ©ً
ÙŠَÙ…ُوتُ ÙŠَÙˆْÙ…َ ÙŠَÙ…ُوتُ ÙˆَÙ‡ُÙˆَ غَاشٌّ Ù„ِرَعِÙŠَّتِÙ‡ِ Ø¥ِلاَّ ØَرَّÙ…َ اللَّÙ‡ُ عَÙ„َÙŠْÙ‡ِ
الْجَÙ†َّØ©َ
“Tidaklah seorang
hamba—yang diserahi oleh Allah tugas untuk mengurus rakyat—mati pada hari
kematiannya, sementara ia mengkhianati rakyatnya, Allah mengharamkan surga bagi
dirinya.” (HR Muslim)
Terkait dengan hadis ini, Imam Fudhail bin Iyadh
menuturkan, “Hadis ini merupakan ancaman bagi siapa saja yang diberikan
Allah Subhanahu wa ta’ala
untuk mengurus urusan kaum muslim,
baik urusan agama maupun dunia, kemudian ia berkhianat.
Jika seseorang berkhianat terhadap
suatu urusan yang telah diserahkan kepada dirinya maka ia telah terjatuh pada
dosa besar dan akan dijauhkan dari surga. Penelantaran itu bisa berbentuk tidak
menjelaskan urusan-urusan agama kepada umat, tidak menjaga syariah Allah dari
unsur-unsur yang bisa merusak kesuciannya, mengubah-ubah makna ayat-ayat Allah
dan mengabaikan hudud
(hukum-hukum Allah).
Penelantaran
itu juga bisa berwujud pengabaian terhadap hak-hak umat, tidak menjaga keamanan
mereka, tidak berjihad untuk mengusir musuh-musuh mereka dan tidak menegakkan
keadilan di tengah-tengah mereka. Setiap orang yang melakukan hal ini
dipandang telah mengkhianati umat.”
Adil dan Amanah
Sejarah peradaban Islam dalam sistem Kekhilafahan
selama berabad-abad telah melahirkan banyak pemimpin yang adil dan amanah.
Khalifah pertama, Abu Bakar ash-Shiddiq ra., misalnya, adalah sosok penguasa
yang terkenal adil dan amanah.
Beliau orang yang sabar dan lembut. Namun, beliau juga terkenal sebagai pemimpin
yang berani dan tegas. Tatkala sebagian kaum muslim menolak kewajiban zakat, beliau
segera memerintahkan kaum muslim
untuk memerangi mereka. Dengan begitu,
stabilitas dan kewibawaan kekhilafahan
bisa dipertahankan meskipun harus mengambil risiko perang.
Pengganti beliau, Khalifah Umar bin al-Khaththab ra.,
juga terkenal adil dan amanah. Beliau penguasa yang tegas dan sangat disiplin.
Beliau tidak segan-segan merampas harta para pejabatnya yang ditengarai berasal
dari jalan yang tidak benar.
Pada zaman Khalifah Umar ra. pula, Gubernur Mesir Amr
bin al-‘Ash pernah menerapkan sanksi hukum (had) minum khamr terhadap
Abdurrahman bin Umar (putra Khalifah Umar ra.). Biasanya, pelaksanaan
sanksi hukum semacam ini diselenggarakan di sebuah lapangan umum di pusat kota.
Tujuannya agar penerapan sanksi semacam ini memberikan efek jera bagi
masyarakat. Namun,
Gubernur Amr bin al-‘Ash menerapkan hukuman tersebut di dalam rumah. Ketika
informasi ini sampai kepada Khalifah Umar ra., beliau marah. Beliau segera
melayangkan sepucuk surat kepada Amr bin al-‘Ash.
Surat tersebut antara lain berbunyi:
“Kamu telah mencambuk Abdurrahman bin Umar di dalam rumahmu. Padahal kamu
sudah mengerti bahwa tindakan semacam ini menyalahi aturanku. Abdurrahman itu
tidak lain adalah bagian dari rakyatmu. Kamu harus memperlakukan dia
sebagaimana kamu memperlakukan muslim
lainnya. Kamu
sendiri sudah tahu bahwa tidak ada perbedaan manusia di mataku dalam hal-hal
yang berkaitan dengan hak Allah.” (Ibnu al-Jauzi,
Manaqib Amir al-Mu’minin, hlm. 235)
Setelah itu, Abdurrahman digiring ke
sebuah lapangan di pusat kota. Amr bin al-Ash lalu mencambuk Abdurrahman di
depan publik. Begitulah
sikap Khalifah Umar. Dengan berpegang teguh pada syariah Islam, beliau
menerapkan kebijakan berupa persamaan di hadapan hukum. Tidak peduli dia putra khalifah ataukah bukan. Ketika putranya sendiri
melakukan kesalahan, maka hukum Islam ditegakkan. Tak ada nepotisme. Tak ada
intervensi hukum. Bahkan Khalifah Umar ra. juga menghukum pejabat yang
mengabaikan penerapan hukum Islam. Amr bin al-Ash mendapat teguran keras dan
hukuman yang setimpal atas kecerobohan dan kelalaian tindakannya tersebut.
Tak hanya para khalifah, para
pejabat Islam pada masa Kekhilafahan Islam pun menunjukkan keteladanan yang
sama. Salah satu contohnya adalah Qadhi Syuraih. Dikisahkan, saat Ali bin Abi
Thalib ra. menjabat khalifah, ia pernah bersengketa dengan seorang laki-laki
Yahudi terkait sebuah baju besi.
Diriwayatkan oleh Imam al-Hakim
bahwa baju besi Imam Ali ra. hilang pada Perang jamal. Imam Ali ra. ternyata
mendapati baju besinya ada di tangan seorang laki-laki Yahudi. Beliau dan orang
Yahudi lalu mengajukan perkara itu kepada hakim bernama Syuraih. Beliau lalu
mengajukan saksi seorang mantan budaknya dan Hasan, anaknya.
Qadhi Syuraih berkata, “Kesaksian
mantan budakmu saya terima, tetapi kesaksian Hasan saya tolak.” Imam Ali
ra. berkata, “Apakah kamu tidak pernah mendengar Rasulullah ï·º
bersabda bahwa Hasan dan Husain adalah penghulu para pemuda penghuni surga?”
Qadhi Syuraih tetap menolak
kesaksian Hasan. Ia memenangkan si Yahudi. Qadhi Syuraih lalu berkata kepada
orang Yahudi itu, “Ambillah baju besi itu.” Namun, Yahudi itu lalu
berkata, “Amirul Mukminin bersengketa denganku. Lalu datang kepada hakim kaum
muslim. Kemudian hakim
memenangkan aku dan Amirul Mukminin menerima keputusan itu. Demi Allah, Andalah
yang benar, wahai Amirul Mukminin. Ini memang baju besi Anda. Baju besi itu
jatuh dari unta Anda. Lalu aku ambil. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan yang patut disembah, kecuali Allah dan bahwa
Muhammad adalah rasul Allah.” Imam Ali ra. berkata, “Karena Anda sudah masuk
Islam, kuberikan baju besi itu untukmu.”
(Al-Kandahlawi, Hayah ash-Shahabah, 1/146)
Dalam kisah lain, dalam kitab Siyar
al-Muluk diceritakan bahwa ketika ada penguasa Bani Saljuk yang menenggak
minuman keras bersama punggawanya, mereka pun dihukum cambuk oleh Qadhi Hisbah
sebanyak 40 kali cambukan. Inilah
keadilan hakiki yang berhasil diwujudkan Islam. Keadilan seperti inilah yang
dulu pernah diwujudkan di negara
khilafah yang menerapkan
syariah Islam secara kaffah di tengah-tengah masyarakat. Keadilan semacam ini
pula yang didambakan tak hanya oleh umat Islam, tetapi bahkan oleh orang-orang non-muslim sekalipun.
Tidak
Korupsi
Selain
adil dan amanah, para pemimpin Islam pada masa lalu juga amat hati-hati dengan
harta negara. Mereka tak berani menggasak uang negara. Mereka tidak korupsi. Inilah juga yang
ditunjukkan oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab ra., misalnya. Saat menjadi khalifah,
beliau pernah dihadiahi minyak wangi kesturi dari penguasa Bahrain. Beliau lalu
menawarkan kepada para sahabat, siapa yang bersedia untuk menimbang sekaligus
membagi-bagikan minyak wangi kesturi itu kepada kaum Muslim. Saat itu, istri beliau,
Atikah ra., yang pertama kali menawarkan diri. Namun, beliau dengan lembut
menolaknya. Sampai tiga kali istri beliau menawarkan diri, beliau tetap menolak
keinginan istrinya.
Beliau kemudian berkata, “Atikah,
aku hanya tidak suka jika engkau meletakkan tanganmu di atas timbangan. Lalu
engkau menyapu-nyapukan tanganmu yang berbau kesturi itu ke tubuhmu. Dengan itu
berarti aku mendapatkan lebih dari yang menjadi hakku yang halal.” (Al-Kandahlawi,
Fadha’il A’mal, hlm. 590)
Begitulah sikap sang Khalifah.
Jangankan korupsi, sekadar
kecipratan minyak wangi yang bukan haknya pun tak sudi.
Emha Ainun Nadjib berkata, “Pemimpin yang
terbaik adalah yang paling memiliki penguasaan diri untuk dipimpin. Maka
seorang Pendito Ratu haruslah a man of nothing to lose. Tak khawatir kehilangan
apa-apa. Jangankan harta benda, simpanan uang, seribu perusahaan, tanah, gunung
dan tambang. Sedangkan dirinya sendiripun sudah tak dimiliknya, sebab telah
diberikan kepada Tuhan dan rakyatnya.”
Oleh: Akhmad Zaini
0 Komentar